Pembahasan mengenai hubungan, yaitu antara Negara dan rakyat (masyarakat) tidak akan pernah terlepas dari yang namanya hubungan kekuasaan (power). Yaitu antara yang berkuasa (pemerintah yang mengembang kekuasaan Negara) dan yang dikuasai (Warga Negara yang berada dalam suatu Negara). Hal ini sejalan dengan Social Contract Theory yang digagas oleh beberapa filsuf era enlightment seperti Hobbes, Montesquie, John Locke dan sebagainya.
Teori kontrak sosial, menurut Miriam Budiarjo (1998) dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik”, menyatakan bahwa hubungan antara pemimpin dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Kontrak sosial menentukan di satu pihak bahwa pemimpin diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman.
Di era sekarang, dengan menganut sistem demokrasi, Kontrak (baca:pemilu) yang dilakukan oleh Masyarakat dan Negara (baca:pemimpin) ini, sangat tergantung oleh pemimpin yang dimandatkan menjadi pemimpin masyarakat, yang sudah pasti pola kepemimpinannya ini akan mempengaruhi hubungan Negara dan warga. Namun, control masyarakat juga berperan penting dalam hal ini.
Terlepas dari hal di atas, banyak ragam hubungan antara Negara dan warga Negara, bisa bersifat demokratis maupun otoritarian. Sifat hubungan ini bisa kita lihat dengan melihat siapa yang lebih dominan mengambil peranan dalam sebuah Negara. Apabila warga lebih dominan dalam hal-hal kenegaraan seperti ikut terlibat dalam menyetujui RUU kebijakan dan sebagainya, maka bisa dikatakan hubungan yang seperti itu ialah hubungan yang demokratis. Sebaliknya, jika pemerintah lebih mempunyai peranan lebih besar dalam bernegara maka bisa dikatakan hubungannya bersifat otoritarian.
Sementara di Indonesia sendiri, hubungan antara Negara dan warga masih terlihat agak otoritarian. Karena kurangnya melibatkan warga masyarakat (rakyat) dalam hal-hal kenegaraan seperti menentukan kebijakan-kebijakan publik. Tidak melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan inilah, yang lambat laun mengikis asas demokrasi di Negara kita.
Berulang kali pemerintah menggunakan alasan bahwa kebijakan yang sedang dirancang maupun yang dijalankan masuk ke dalam ruang teknis administratif belaka. Sehingga kebijakan-kebijakan publik tersebut hanya menjadi diskursus di kalangan masyarakat tanpa adanya keterlibatan dan control dari masyarakat.
Carter (1977) mengatakan bahwa, keterlibatan masyarakat dalam kebijakan-kebijakan public diistilahkan sebagai peran atau partisipasi masyarakat yakni suatu proses interaksi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, di mana masalah-masalah dan kebutuhan masyarakat dianalisis oleh lembaga yang berwenang, dan dalam pada itu akan terjadi feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).
Keterlibatan masyarakat di dalam penetapan sebuah kebijakan, sesungguhnya bisa mengetahui langsung apa-apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga dalam penentuan kebijakan tidak terjadi miss concepting. Apalagi, pembuatan sebuah kebijakan tidak memakan biaya yang sedikit. Transparansi dana dalam penentuan kebijakan juga diperlukan agar masyarakat tidak curiga.
Menurut Siswanto (2001), tujuan utama melibatkan masyarakat dari sejak tahap awal perencanaan sebuah kebijakan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan warga masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Karena dengan melibatkan warga masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan – termasuk kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang ada – para pengambil keputusan akan dapat menangkap pandangan, kebutuhan, dan pengharapan dari warga masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan tersebut serta menuangkannya ke dalam sebuah konsep kegiatan yang memang benar-benar dibutuhkan.
itulah hubungan rakyat dan negara, semoga bermanfaat dan terimakasih.
Teori kontrak sosial, menurut Miriam Budiarjo (1998) dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik”, menyatakan bahwa hubungan antara pemimpin dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Kontrak sosial menentukan di satu pihak bahwa pemimpin diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman.
Di era sekarang, dengan menganut sistem demokrasi, Kontrak (baca:pemilu) yang dilakukan oleh Masyarakat dan Negara (baca:pemimpin) ini, sangat tergantung oleh pemimpin yang dimandatkan menjadi pemimpin masyarakat, yang sudah pasti pola kepemimpinannya ini akan mempengaruhi hubungan Negara dan warga. Namun, control masyarakat juga berperan penting dalam hal ini.
Terlepas dari hal di atas, banyak ragam hubungan antara Negara dan warga Negara, bisa bersifat demokratis maupun otoritarian. Sifat hubungan ini bisa kita lihat dengan melihat siapa yang lebih dominan mengambil peranan dalam sebuah Negara. Apabila warga lebih dominan dalam hal-hal kenegaraan seperti ikut terlibat dalam menyetujui RUU kebijakan dan sebagainya, maka bisa dikatakan hubungan yang seperti itu ialah hubungan yang demokratis. Sebaliknya, jika pemerintah lebih mempunyai peranan lebih besar dalam bernegara maka bisa dikatakan hubungannya bersifat otoritarian.
Sementara di Indonesia sendiri, hubungan antara Negara dan warga masih terlihat agak otoritarian. Karena kurangnya melibatkan warga masyarakat (rakyat) dalam hal-hal kenegaraan seperti menentukan kebijakan-kebijakan publik. Tidak melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan inilah, yang lambat laun mengikis asas demokrasi di Negara kita.
Berulang kali pemerintah menggunakan alasan bahwa kebijakan yang sedang dirancang maupun yang dijalankan masuk ke dalam ruang teknis administratif belaka. Sehingga kebijakan-kebijakan publik tersebut hanya menjadi diskursus di kalangan masyarakat tanpa adanya keterlibatan dan control dari masyarakat.
Carter (1977) mengatakan bahwa, keterlibatan masyarakat dalam kebijakan-kebijakan public diistilahkan sebagai peran atau partisipasi masyarakat yakni suatu proses interaksi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, di mana masalah-masalah dan kebutuhan masyarakat dianalisis oleh lembaga yang berwenang, dan dalam pada itu akan terjadi feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).
Keterlibatan masyarakat di dalam penetapan sebuah kebijakan, sesungguhnya bisa mengetahui langsung apa-apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga dalam penentuan kebijakan tidak terjadi miss concepting. Apalagi, pembuatan sebuah kebijakan tidak memakan biaya yang sedikit. Transparansi dana dalam penentuan kebijakan juga diperlukan agar masyarakat tidak curiga.
Menurut Siswanto (2001), tujuan utama melibatkan masyarakat dari sejak tahap awal perencanaan sebuah kebijakan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan warga masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Karena dengan melibatkan warga masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan – termasuk kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang ada – para pengambil keputusan akan dapat menangkap pandangan, kebutuhan, dan pengharapan dari warga masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan tersebut serta menuangkannya ke dalam sebuah konsep kegiatan yang memang benar-benar dibutuhkan.
itulah hubungan rakyat dan negara, semoga bermanfaat dan terimakasih.